Awalnya aku pikir di tempat tinggal baruku ada banyak warung makan, sama seperti yang kutemui saat tinggal di kota. Apalagi nominal uang saku yang kubawa ke Banyumas “banyak” menurutku.
Terbayang olehku, makan ayam goreng, opor, soto ayam, ayam panggang, tahu goreng, kentang balado, tumis kangkung, telor ceplok balado, wortel dan buncis kuah kuning dan banyak lagi makanan yang biasa kutemui di warteg. Baru membayangkannya saja air liur rasanya sudah menetes dari mulut.
0 Comments
“Satu bulan ya, lama juga” begitu yang kuucapkan semalam sebelum berangkat. Kalimat itu masih terus membayangiku sampai aku akhirnya memutuskan untuk tidur di KA Jaka Tingkir yang melaju cepat menuju Purwokerto, tanpa mempedulikan keraguanku.
Ini adalah perjalanan mandiri terlama yang aku lalui. Dua minggu menjadi titik terlama untukku tinggal tanpa orang tua di tempat baru. Ketika ibu menawarkan untuk mencoba live in di PAKIS beberapa bulan silam. Aku dengan mantap mengiyakan tawarannya dengan syarat ada teman yang ikut. Dinginnya malam dan pagi hari di Banyumas cukup untuk membuatku dan aku rasa semua orang yang tinggal di sini untuk tidak jauh-jauh dari api. Hampir di semua rumah terdapat perapian dengan kayu bakar. Walaupun kompor gas sudah menggantikan kayu bakar, tapi banyak yang tetap mempertahankan perapian sederhana milik mereka untuk menghangatkan badan.
Ini adalah sesuatu yang tidak biasa aku lakukan kalau di Jakarta, punya perapian tidak pernah terpikirkan olehku sedikit pun. Karena ga mungkin di tempat kayak oven kita menghangatkan badan lagi kan, mau jadi ayam panggang emang? Berangkat sekolah mungkin hal yang lumrah dilakukan setiap hari untuk 45,3 juta anak indonesia, baik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, atau SMK. Tapi bukan untukku.
Sebagai anak yang sudah keluar dari sekolah sejak kelas 4 SD. Berangkat sekolah sudah lama kulupakan. Dulu pun saat masih sekolah aku sengaja dipilihkan sekolah yang dekat rumah jadi tidak merasakan bermacet-macet ria di pagi hari. Di PAKIS kami masuk sejam lebih lama dari sekolah biasa alias pukul 08.00. Dengan jarak rumah yang jauh dan tanpa kendaraan, aku kagum dengan semangat mereka belajar. Masuk pukul 8 bukan berarti datang 10 atau 5 menit sebelum bel berbunyi. Seringkali pukul 6.30 atau pukul 7, sudah terdengar suara pantulan bola pingpong dari kelas, tanda ada seseorang yang sudah datang. Macaca nemestrina atau panggilan sayangnya Beruk, adalah keluarga macaca yang kalau di kampungku, di Sumatera Barat bertugas untuk memetik kelapa. Mereka tentu dengan mudah naik turun pohon kelapa, bagaikan naik tangga. Aku tinggal menunggu di bawah, sambil berhati-hati agar tidak terkena kelapa yang jatuh. Sayangnya tidak ada beruk di Banyumas...
Aku senang sekali dengan kelapa, apalagi di hari yang panas. Itu merupakan minuman paling enak di dunia! Dimakan langsung, dijadiin es teler, es campur, kopyor banyak cara menikmati kelapa dan semuanya enak :D Banyak sekali pohon kelapa di Karanggondang, setiap pagi dan sore hari selama aku meningap di sana. Kanan dan kiriku dihiasi dengan puluhan pohon kelapa yang berjajar, tentu saja dengan buah kelapanya yang sangat menggoda. Brightspot maksudnya adalah yang membantu orang lain. Setekah sebelumnya kami disuruh untuk melihat brightspot di Kelas Jurnalis Cilik. Kali ini kami mendapatkan tugas untuk melihat brightspot dan hotspot kembali tapi di sekitar tempat tinggal kami.
Banyak hal menarik di sekitarku. Kampung di samping komplek yang menurutku menunjukan ketimpangan yang cukup jauh. Ada juga koperasi simpan pinjam yang didirikan tetanggaku untuk membantu warga sekitar mengatasi masalah finansial. Tapi pilihanku untuk kali ini jatuh pada tukang sayur. Ini adalah suatu pekerjaan yang sangat membantu warga di komplekku. Sebenernya tugasnya simpel saja membeli bahan-bahan makanan di pasar lalu dijual kembali di kompleks. Mendekatkan yang jauh wkwk. 8 Oktober kami ke Banyumas. Tugas kedua untuk eksplorasi ini adalah mengenali diri sendiri dan mencari apa yang kira-kira bisa di bagi ke teman-teman di sana.
Setelah aku pikir-pikir tampaknya ada 5 hal yang bakal berguna buat di sana. 1. Fotografi Aku cukup menguasai ilmu memotret dan aku yakin bisa berbagi. Sehingga ketika mereka memotret fotonya tidak over exposure atau under dan enak dilihat. 2. Photovoice Kalau yang pertama aku mau berbagi tentang fotografi, yang kedua adalah bercerita dengan foto. Aku sudah pernah sekali melihat contoh hasil photovoice oleh anak-anak di Desa Sumba. Foto bukan hanya jepret saja menurutku, tapi juga cerita yang ingin disampaikan lewat foto. Dengan ini aku akan mengumpulkan foto-foto mereka dan membuatnya menjadi pameran saat kembali ke Jakarta. Ada apa emang disebelah pelabuhan Tanjung Priuk? Di sebelah Tanjung Priuk ada anak-anak pesisir yang belajar menjadi jurnalis cilik bersama Kelas Jurnalis Cilik. Mereka setiap hari minggu selama 4 bulan bermain sambil belajar cara menjadi jurnalis bersama Kak Ilyas dan Kak Wawan.
Kelas ini sangatlah keren menurutku karena ilmu-ilmu yang didapat sangatlah berharga tapi belajarnya dengan ringan dan mudah dimengerti… Minggu kemarin (8/9) aku dan beberapa temanku yang akan ke Banyumas berkesempatan ke sana untuk main dan lihat-lihat suasana ketika mereka sedang melangsungkan kegiatan. Tidak lupa aku pun ikut serta hunting foto bersama mereka, mengelilingi kampung untuk mengabadikan sesuatu yang menarik. Sabtu kemarin (31/8/19) aku bersama dengan anak-anak lain di juru rupa pergi mengunjungi Pameran ArtJakarta. Pameran ini diselenggarakan selama 3 hari dari 30-1 September 2019, di Jakarta Convention Center.
Pameran ini berlangsung bersamaan dengan Muslim LifeFest. Ketika aku baru datang, jujur aku kaget karena orang-orang yang datang dan ornamen-ornamennya tidak sesuai dengan ekspetasiku… tapi ternyata aku salah masuk pameran wkwk “Jadi kenapa yah kambing itu?” pertanyaan itu masih menyisa hingga selesai membaca buku Pakis karangan Madofik. Buku ini adalah syarat wajib kami untuk ikut kegiatan eksplorasi ke Banyumas oktober nanti.
Oktober nanti… kami akan mendapat kesempatan untuk live in di Mts Pakis selama 3 minggu. Buku yang harus kami baca ini adalah cerita tentang MTs ini, dikarang oleh salah satu pendirinya. Walaupun ceritanya kalau dibaca seperti nyata, tapi ini adalah tulisan fiksi bedasarkan kisah nyata. Ketika aku mulai membaca buku ini, aku langsung antusias karena prolog yang menarik dan langsung mengundangku untuk meneruskan bacaan. Sayang masuk halaman 60an alur dari ceritanya datar-datar aja, aku masih coba teruskan, tapi begitu sampai halaman 110 aku sudah bosan dan langsung skip ke 70 halaman terakhir. Yang keren bagiku dari cerita ini adalah dedikasi mereka untuk mengajar anak-anak di desa dengan gratis dan itu memakan waktu sangat banyak, terutama karakter utama. Selain itu ide-ide mereka agar tetap menarik dan anak-anak tetap memilih sekolah daripada bekerja di ladang. Ada satu hal yang kuamati mereka membuat sensus dahulu agar tahu apa masalah yang orang desa hadapi dan tidak memberikan sesuatu yang tidak berguna. Ini jarang dilakukan menurutku, banyak yang datang tanpa tahu masalah apa yang sebenarnya mereka hadapi dan bantuan yang diberikan jadi tidak pas. Karena ceritanya ditulis bedasarkan kondisi di sana. Aku jadi gak sabar untuk liat langsung disana kayak gimana dan menemukan masalah dari sudut pandangku sendiri. |
KATALOG KARTUGenius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Tentang AkuNamaku Kaysan. Belajar melalui pengamatan alam, perjalanan, dan berinteraksi dengan banyak orang.
Menyimpan jurnal perjalanan dan foto. Berbagi cerita lewat blog ini, instagram, dan video #OASEmenit Kategori BURUNG
Lifelist JBW Birdrace #AmatiJakarta KLUB OASE Pramuka OASE Media Juru Rupa PERJALANAN Australia 2014 Cirebon 2014 Garut 2014 Malang 2017 Sumba Yogyakarta Sehari Arsip
November 2019
Indeks
All
|