Bedasarkan hasil riset kesehatan dasar 2018, 26.9% remaja usia 16-18 di Indonesia mengalami kekurangan zat gizi (Kemkes, 2020). Sementara pada usia balita 27.6% mengalami kekurangan gizi dan stunting (SSGBI, 2019). Ikan dapat menjadi salah satu solusi untuk kebutuhan gizi Indonesia, karena mengandung protein, karbohidrat, vitamin, mineral, asam amino, asam lemak omega 3, 6, 9 yang baik manfaatnya untuk otak dan tubuh manusia. Bahkan kandungan asam amino dan omega 3 yang dimiliki jauh lebih baik dibandingkan bahan pangan sumber protein lainnya (Kemenkes, 2016) Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan total luas wilayah laut sebesar 3.25 juta km dan 2.55 juta km merupakan Zona ekonomi ekslusif (ZEE). Wilayah perairan yang begitu luas membuat Indonesia memiliki sumber daya ikan laut yang berlimpah. Menjadikan Indonesia produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah Cina (Katadata, 2016) Jika dilihat dari segi konsumsi, saat ini Indonesia bukanlah yang terdepan bahkan di Asia Tenggara. Data konsumsi nasional tahun 2010-2019 (gambar 1) menunjukan adanya peningkatan lebih dari 5% setiap tahunnya. Pada 2019, konsumsi Indonesia mencapai angka 55.95kg/kapita/tahun. Namun jika dilihat secara lebih mendetail, tingkat konsumsi antar pulau tidaklah sama. Pulau Jawa menjadi pulau dengan rata-rata konsumsi terendah. Data nasional menunjukan tingkat konsumsi di Jawa berada pada angka 40,34 kg/kapita/tahun. Pada tingkat anak muda dan remaja pun ikan bukanlah pilihan pertama sebagai protein yang dikonsumsi sehari-hari. Anak muda cenderung memilih unggas sebagai protein yang dikonsumsi. Ini menimbulkan pertanyaan pada benak kami kenapa ikan kalah populer dengan protein lain. Untuk itu kami, menginisiasi riset pola konsumsi ikan laut pada anak muda dan remaja. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana pola konsumsi dan persepsi mereka terhadap ikan sebagai protein yang dikonsumsi sehari-hari. Penelitian dilakukan menggunakan mixed methods. Data kuantitaif diambil dari survei daring, artikel, jurnal dan data dari BPS. Sementara data kualitatif kami dapatkan dari wawancara dengan beberapa narasumber yang mengisi survei. Selama 1 minggu, survei ini telah diisi sebanyak 456 kali. Sebanyak 318 merupakan responden usia 10-17 tahun sementara 106 responden berusia 18-24 tahun. Sementara 30 responden lainnya berada di luar kelompok umur yang menjadi penelitian. 90.45% responden berasal dari Jawa. Responden terbanyak berasal dari provinsi Jawa Tengah sebesar 34.13%. Sementara Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan dan Aceh menjadi provinsi dengan jumlah responden yang paling sedikit (1 responden per provinsi) Secara keseluruhan mayoritas responden sudah mengkonsumsi ikan. Dari segi umur, konsumsi ikan cenderung lebih tinggi pada usia 18-24. Dari hasil survei ada beberapa poin yang menarik perhatian kami dan dirasa penting. 1. Budaya Mengkonsumsi IkanVariasi lokasi tempat tinggal responden memberikan perbedaan pada pola konsumsi ikan, seperti tingkat frekuensi dan pilihan olahannya. Pada responden yang tinggal di pesisir mayoritas mengkonsumsi ikan dua kali seminggu sementara responden yang tidak tinggal di pesisir mayoritas mengkonsumsi ikan satu kali sebulan. Tidak hanya itu, mayoritas responden mengkonsumsi ikan 2-6 kali seminggu sementara di Jawa mayoritas satu kali sebulan hingga satu kali setiap dua minggu. Perbedaan ini mungkin terkait dengan budaya di berbagai daerah yang bervariasi. Kenty dalam wawancara yang kami lakukan bercerita bahwa “Waktu kecil dulu di Sumatera, aku lebih sering makan ikan laut dibanding ayam dan lauk lainnya. Di Banyumas aku susah menemui ikan segar. Orang-orang di Banyumas juga mengkonsumsi ikan ketika sedang kepentingan, bukan untuk harian." Djunaidah (2017) menyebutkan bahwa pada penelitian yang dilakukan di Waduk Cirata tingkat konsumsi ikan dari suku Bugis lebih tinggi dibandingkan Suku Sunda. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat adanya perbedaan pola konsumsi atau budaya makan ikan berdasar suku/etnis, mungkin lebih tepatnya geografis asal. Budaya makan ikan sebagai bagian dari budaya bahari lebih melekat pada suku Bugis yang memang dari sejarah terbuktikan bahwa mereka merupakan kelompok pelaut ulung. Dari dua contoh diatas kami melihat mungkin budaya Indonesia yang sangat bervariasi menjadi salah satu alasan mengapa konsumsi ikan di Jawa lebih rendah. Walaupun begitu diperlukan penelitian lebih lanjut yang berfokus pada Jawa untuk mengetahui penyebab tingkat konsumsi di Jawa rendah. 2. Pengalaman Masa KecilWawancara yang kami lakukan pada beberapa narasumber memberikan temuan bahwa pengalaman serta kebiasaan di masa kecil juga memberikan pengaruh pada pilihan konsumsi mereka. “Dulu aku gak suka makan ikan, pas SD gak suka. Tapi mama bilang kalau makan ikan bisa jadi rangking 1 di sekolah, sejak itu aku jadi mau makan ikan.” (AGHY, S1, Kalimantan Selatan. Wawancara, 26/02/2021) “Gw emang sejak kecil udah dibiasin untuk makannya variasi”(SAF, SMA, Jawa Barat Wawancara, 26/02/2021) “Agak Jarang konsumsi ikan, karena dirumah lebih sering makan sosis dan ayam” (KKA, SMP, Kaltim, Wawancara 1/03/2021) Sejalan dengan temuan kami. Pratisti dalam survei kepada anak SMA di Yogyakarta menemukan pengalaman di masa kanak-kanak menjadi variabel yang paling mempengaruhi konsumsi ikan pada anak muda. Dalam penelitian lain yang dilakukan Altinzoglou, ditemukan bahwa anak yang tidak diperkenalkan dengan ikan laut saat kecil cenderung lebih tidak menyukai ikan dibanding yang anak lainnya. 3. KepraktisanAnak muda cenderung lebih menyukai hal yang praktis. Dalam survei yang kami lakukan, 65% responden lebih sering mengkonsumsi snack ikan seperti siomay, otak-otak dan kerupuk ikan daripada ikan segar dan olahannya (ikan bakar, ikan asin, asap dll) “Aku sih lebih sering makan siomay gitu daripada ikan utuh.”(AOT, SMA, Jawa Tengah. Wawancara, 01/03/2021) Duri yang ada di dalam tubuh ikan menjadi salah satu penyebab anak muda menghindari ikan dan memilih protein yang lain. “Sekarang lebih sering makan olahan ikan kayak siomay, pempek, otak-otak. Jarang beli yang mentah, males ngolahnya” (KKS, S1, Banyumas. Wawancara, 28/02/2021) “Milihin tulangnya makan waktu. Nggak praktis” (SAF, SMA, Jawa Barat Wawancara, 26/02/2021) Faktor kepraktisan tidak hanya ditemui pada anak muda di Indonesia. Penelitian yang dilakukan di Denmark, Norwegia dan Islandia juga menemukan hal yang serupa, anak muda cenderung menyukai olahan ikan yang praktis dan memerlukan sedikit waktu untuk mengkonsumsinya (Altintzoglou, 2010). Mengkonsumsi snack ikan bukanlah sesuatu yang buruk, tantangannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk meningkatkan gizi yang ada di dalam snack ikan sambil tetap menjaga rasanya. Jika ini berhasil kedepannya kita akan memiliki generasi yang pintar dan cerdik berkat siomay, otak-otak, kerupuk ikan dan berbagai variasi snack ikan yang ada di Indonesia… Ket. Nama
Referensi
0 Comments
Leave a Reply. |
KATALOG KARTUGenius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Tentang AkuNamaku Kaysan. Belajar melalui pengamatan alam, perjalanan, dan berinteraksi dengan banyak orang.
Menyimpan jurnal perjalanan dan foto. Berbagi cerita lewat blog ini, instagram, dan video #OASEmenit KategoriPROJEK 2020
Kelas Rahasia Di Balik Gambar Kelas Menulis Kak Irma Kelas Filsafat #MasaPandemi BURUNG Lifelist JBW Birdrace #AmatiJakarta KLUB OASE Pramuka OASE Media Juru Rupa PERJALANAN Australia 2014 Banyumas 2019 Cirebon 2014 Garut 2014 Kupang 2017 Lombok 2016 Malang 2017 Sumba Yogyakarta Sehari Arsip
September 2021
Indeks
All
|