Asap terlihat dari jauh membumbung tinggi di angkasa, bercampur dengan awan kelabu yang sedari pagi mengguyur Jakarta. Hujan memang menjadi salah satu tanda yang identik dengan Imlek Hari ini adalah hari Imlek, hari raya bagi etnis tionghoa. Aku berjalan ke arah Vihara Dharma Bakti, diguyur hujan rintik-rintik yang terasa seperti menggelitik kulitku. Jalan yang sehari-hari difungsikan menjadi pasar becek sudah berganti nuansa menjadi lebih ceria. Pintu-pintu seng tua terasa lebih muda dengan ornamen lampion yang terpasang menggantung di atas pintu. Aktivitas pagi yang biasanya diwarnai transaksi jual beli sayur sudah berganti dengan transaksi jual beli hio yang dipakai oleh etnis tionghoa untuk berdoa. Ketika mendekat, bau aroma terapi secara perlahan masuk ke dalam hidungku, walaupun belum dibakar tapi baunya yang mirip bunga sudah mampir di hidungku. Tidak hanya Hio, di luar vihara terdapat belasan penjual burung pipit yang duduk bersandar di dinding bercat merah sambil menunggu para pembeli. Di antara suara gaduh orang terdengar suara “Cipp…cipp…” khas burung pipit yang riuh sekali. Begitu aku mendekati burung-burung ini sekejap bau hio tergantikan oleh bau amis dari kotoran mereka. Puluhan hingga ratusan burung pipit ini berada di dalam krat-krat plastik bekas kelengkeng yang tersusun menumpuk ke atas. Burung-burung ini akan dilepaskan oleh warga Tionghoa yang datang ke kelenteng. Sembari memperhatikan burung-burung yang sibuk terbang kesana-kemari mencari jalan keluar, aku merenung apakah mereka juga bahagia layaknya semua orang disini atau sedih karena terkurung. Walaupun burung-burung ini nantinya dilepaskan, umumnya hidup mereka tidak akan lama. Walaupun dilepas untuk terbang umumnya sudah kepayahan dan tidak mampu terbang lagi. Mereka hanya akan berpindah dari krat ke dalam genggaman bocah-bocah yang datang untuk menyaksikan. Umum untuk menyaksikan bocah-bocah ini berlarian dengan baju dan celana pendek sambil menggenggam burung yang sekarat karena mereka memegangnya sama seperti mereka menggenggam permen loli. Di hari Imlek ini, ribuan warga Tionghoa bercampur dengan warga sekitar dan fotografer serta videografer membanjiri vihara. Tidak sulit untuk membedakan ketiganya. Warga Tionghoa biasanya mengenakan baju warna merah yang dibeli khusus untuk merayakan hari ini. Sementara fotografer dan warga sekitar menggunakan baju berbagai warna, tidak peduli nuansa merah di sekitar mereka. Perayaan Imlek memang seperti magnet untuk semua orang. Ku amati tidak hanya warga lokal, ada juga turis mancanegara yang datang untuk menyaksikan perayaan ini, dipandu guide mereka yang fasih berbahasa asing mereka bercampur dengan lautan orang yang membanjiri vihara. Untungnya bau aromaterapi yang keluar dari hio mampu menutupi bau keringat ribuan orang ini. Jika tidak aku rasa Vihara bakal lebih lengang dan hanya diisi oleh orang yang ingin berdoa. Hio memang menjadi salah satu hal yang lain erat dengan Imlek. Sebenarnya hio tidak hanya digunakan saat imlek, akan tetapi dengan volume orang yang bertambah semakin banyak pula yang membakar hio dan membuat Imlek jadi lebih harum dan sakral. Aroma khas yang dikeluarkannya, bau bunga dan lilin terbakar yang menusuk hidung ini tidak selalu cocok untuk semua orang, tapi untukku aroma ini memberikan ketenangan. Kerumunan orang memenuhi halaman depan dari vihara. Tradisi Fang Sheng atau pelepasan burung pipit lah yang menjadi penyebabnya. Bak magnet, setiap kali ada seseorang yang hendak melepaskan burung, seluruh kerumunan yang bising tadi berubah menjadi sunyi, semua berfokus melihat ritual yang sedang berlangsung. Sedetik setelah sangkar dibuka, ratusan burung terbang dengan terburu-buru bak narapidana kabur dari penjara yang jebol. Terasa di pipiku hembusan angin ketika burung-burung tersebut terbang melewatiku mencari kebebasan yang semu. Di hadapannya ratusan pasang mata berfokus mengamati dengan mata ataupun kamera. Setiap orang punya tujuannya masing-masing. Fotografer berfokus untuk mencari momen, sementara bocah-bocah berfokus mengamati arah burung tersebut terbang dan bergegas menangkap setelahnya. Setelah setengah jam aku berkali-kali melihat tragedi yang sama, aku memutuskan untuk pergi ke dalam bangunan vihara. Ruangan di dalam tidak terlalu besar, lantainya terbuat dari keramik warna merah bata. Di langit-langit tergantung ratusan lampion warna merah. Di setiap sudut ruangan terdapat patung dewa-dewi yang terletak dalam akuarium kaca, di depan mereka tersusun rapi lilin setinggi manusia dewasa. Di antara lilin-lilin ini, beberapa warga tionghoa berdoa dengan khidmat sembari memegang dupa yang terbakar secara perlahan. Bersaman dengan asap merebak bau dari dupa ke seluruh penjuru ruangan menciptakan suasana yang terasa tenang dan sakral. Kembali aku keluar untuk berkeliling. Aku melintasi berbagai ruangan yang diisi oleh patung dewa. Setiap ruangan diisi oleh satu patung, berkerumun disekitarnya orang-orang. Masing-masing memegang dupa sembari berdoa. Lantas aku memutuskan untuk lanjut berjalan karena tidak ingin mengganggu ritual mereka. Hingga sampailah aku di ruangan terluas di vihara ini. Di depanku terletak patung-patung ynag jauh lebih besar dari patung dewa yang sudah kutemui sebelumnya. Didepan mereka sudah berkerumun puluhan orang dengan baju merah. Mereka memanjatkan doa sembari memegang dupa yang digerakkan keatas bawah dengan kedua tangannya. Setelah selesai, dupa ditancap di dalam guci-guci yang tersedia didepannya. Akibat banyaknya dupa yang ditaruh, seluruh ruangan menjadi berkabut, tapi kabut ini tidak mengganggu orang-orang yang sedang berdoa dan bersukacita. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasi orang-orang ini. Terkadang kamera bisa menjadi distraksi untuk orang lain, sehingga aku memutuskan untuk kembali sembali melewati kerumunan berwarna merah yang ada di mana-mana. Kujejakan kaki keluar sambil mencari-cari berharap ada barongsai yang lewat. Sayang hari ini bukan hari keberuntunganku. Gang-gang di Petak Sembilan sungguh indah di Hari Imlek ini. Seluruh lampion yang tersebar di berbagai sudut, gemerlap diantara dinidng-dinding bangunan yang sudah memudar akibat usia.
Imlek adalah tahun baru, tidak ada yang bersedih di tahun baru. Seluruh orang dimanapun bersukacita menyambut tahun yang baru, aku berjalan keluar meninggalkan hiruk-pikuk tersebut. Seorang bocah dengan topeng barongsai lewat didepanku, seakan menghiburku yang tidak berhasil menemukan barongsai asli. Saatnya untukku pulang, toh roll film yang aku gunakan untuk hari ini juga sudah habis. 36 frame yang tersedia, telah habis untuk mengabadikan setiap momen yang penuh warna di hari Imlek ini.
0 Comments
Leave a Reply. |
KATALOG KARTUGenius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Tentang AkuNamaku Kaysan. Belajar melalui pengamatan alam, perjalanan, dan berinteraksi dengan banyak orang.
Menyimpan jurnal perjalanan dan foto. Berbagi cerita lewat blog ini, instagram, dan video #OASEmenit KategoriPROJEK 2020
Kelas Rahasia Di Balik Gambar Kelas Menulis Kak Irma Kelas Filsafat #MasaPandemi BURUNG Lifelist JBW Birdrace #AmatiJakarta KLUB OASE Pramuka OASE Media Juru Rupa PERJALANAN Australia 2014 Banyumas 2019 Cirebon 2014 Garut 2014 Kupang 2017 Lombok 2016 Malang 2017 Sumba Yogyakarta Sehari Arsip
September 2021
Indeks
All
|