Hari ini (11/01/2021) adalah pertemuan kesembilan. Di pertemuan ini ada Pak Tasrifin yang hadir sebagai narasumber. Dia bercerita tentang kehidupan orang Bajau dan masalah yang dihadapi. Beberapa waktu lalu aku sempat tertarik dengan Suku Bajau, aku penasaran mengapa pemerintah berusaha untuk mendaratkan suku ini. Sehingga kelas hari ini menarik perhatian sejak sebelum dimulai. Suku Bajau ini unik. Mereka adalah satu dari 5 suku laut di Indonesia dan hanya merekalah yang tinggal di atas laut. Sejak dulu kala Suku Bajau sudah berlayar lintas negara, karena mereka tidak mengenal wilayah. Baginya laut adalah detak jantung kehidupan dan tidak ada garis batas wilayah yang membatasi. Dahulu, suku Bajau hanay mengenal dua suku. Suku Sama (mereka sendiri) dan Suku Bagai (Orang di luar Bajau) Jadi tidak ada yang namanya Orang Indonesia, Orang Malaysia dan lainnya. Mereka pun sangat mahir menyelam, memetakan daerah laut yang potensial dan ke arah mana ikan akan bermigrasi. Dengan semua keahlian yang mereka miliki, makanan mereka selalu cukup. Apalagi mereka hanya berburu untuk diri sendiri dan tidak untuk dijual. Akan tetapi semua berubah, semakin ke sini Suku Bajau semakin mirip dengan nelayan lainnya. Mereka akhirnya menangkap ikan untuk memenuhi permintaan pasar. Akibat tingginya permintaan beberapa pun terpaksa melakukan pengeboman, bius dan berbagai cara ilegal lainnya. Mereka pun dari yang awalnya tinggal di kapal makin hari makin merapat ke darat. Bahkan sekarang tidak semua Suku Bajau menjadi nelayan. Ada yang menjadi PNS, aktivis dan banyak lagi. Intinya terjadi degradasi budaya yang sedikit demi sedikit menghilangkan identitas mereka sebagai Suku Bajau.
Aku tertarik untuk membahas dan mengira-ngira sebenarnya apa yang terjadi hingga Suku Bajau ini terpaksa mendaratkan dirinya sama seperti yang lain. Kalau dari cerita Pak Tasrifin dan jurnal-jurnal yang diberikan sebelum kelas, ada beberapa dugaanku. Pertama adalah mungkin mereka (Suku Bajau) mulai kesulitan mendapatkan ikan, karena persaingan dengan nelayan-nelayan tradisional dan modern yang berada di perairan yang sama. Di salah satu jurnal, penggunaan Pukat Rengge membuat ikan yang didapatkan nelayan lain berkurang. Mungkin akibat ini kebutuhan hidup mereka tidak tercukupi dan terpaksa ke darat untuk bertransaksi dengan orang di darat. Bisa juga ini akibat usaha pemerintah yang berusaha mendaratkan mereka serta memberikan identitas. Karena mereka sudah di darat, mereka terpaksa untuk beradaptasi agar diterima oleh masyarakat lain. Salah satu caranya adalah menikah dengan orang setempat dan bersosialisasi. Di tahun-tahun 1980/1990 orang Bajau dianggap sebagai orang luar dan bukan bagian dari masyarakat lokal sehingga sering terkena perisakan oleh masyarakat setempat. Mungkin inilah penyebab mereka terpaksa meninggalkan berbagai budayanya, agar diterima oleh masyarakat. Akan tetapi aku masih ragu dengan asumsi ini mengingat Suku Bajau adalah orang nomaden yang biasa pergi jika tidak cocok dengan satu tempat, jika benar ini yang terjadi kenapa mereka tidak pindah ke daerah lain? Sekarang Suku Bajau memiliki masalah karena tidak punya modal dan pasar untuk ikan mereka. Untuk mengatasi masalah modal mereka terpaksa meminjam ke Punggawa (sejenis rentenir) lalu setelahnya mereka seperti tidak bisa lepas dari lilitan hutang. Aku sempat terpikir mengapa Suku Bajau ini tidak membuat koperasi sendiri. Apalagi mereka memiliki ikatan kekerabatan yang kuat. Jadi ada anggota suku yang mengumpulkan, mengatur keuangan dan memasarkan ikan hasil jualan mereka, akan tetapi tidaklah mudah untuk mencari pasar sendiri. Selain itu meminjam uang di punggawa lebih mudah karena selalu tersedia 24 jam, sementara kalau koperasi sendiri uangnya bergantung pada jumlah nasabah yang setoran meminjam. Dari dua pertemuan terakhir aku mendapatkan cerita yang berbeda tentang nelayan di Indonesia. Pada pertemuan kemarin, aku merasa seperti nelayan sudah mencapai titik sejahtera, tapi kalau mendengar cerita ini aku kembali merasa seperti kondisi di buku Konflik Sosial Nelayan milik Drs. Kusnadi. Ini menimbulkan pertanyaaan di benakku sebenarnya mana yang benar? Apakah mungkin perbedaan ini terjadi karena perbedaan tempat yang diceritakan? Kak Wiro bercerita di Maluku dan Papua sementar Pak Tasrifin bercerita di Sulawesi. Akan tetapi ada satu kesamaan yang kulihat dari cerita kedua narasumber yaitu uang ini seperti menjadi racun untuk nelayan. Di cerita Kak Wiro kemarin, anak-anak nelayan ini tidak lanjut sekolah karena mereka mendapat uang saat berlaut sementara saat sekolah tidak. Sementara di cerita ini aku menyimpulkan bahwa uang menjadi salah satu penyebab utama Suku Bajau terpaksa mendaratkan dirinya dan menghilangkan budaya kelautan mereka sedikit demi sedikit.
0 Comments
Leave a Reply. |
KATALOG KARTUGenius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration. Tentang AkuNamaku Kaysan. Belajar melalui pengamatan alam, perjalanan, dan berinteraksi dengan banyak orang.
Menyimpan jurnal perjalanan dan foto. Berbagi cerita lewat blog ini, instagram, dan video #OASEmenit KategoriPROJEK 2020
Kelas Rahasia Di Balik Gambar Kelas Menulis Kak Irma Kelas Filsafat #MasaPandemi BURUNG Lifelist JBW Birdrace #AmatiJakarta KLUB OASE Pramuka OASE Media Juru Rupa PERJALANAN Australia 2014 Banyumas 2019 Cirebon 2014 Garut 2014 Kupang 2017 Lombok 2016 Malang 2017 Sumba Yogyakarta Sehari Arsip
September 2021
Indeks
All
|