“Jebrak-jebruk, duar, duar BOOM,” kira-kira seperti itu bunyinya saat aku dan Andro bersiap-siap kembali ke Jakarta (maunya sih extend tapi nggak boleh :P). Memang suaranya lebih mirip perang dibandingkan berkemas. Tapi itu semua mungkin karena aku membawa tas carrier dan tas daypack...ditambah pepaya, mangga pisang, jambu kubawa dari pasar minggu, emping, sendal, beras, dan masih banyak lagi buah-buahan dan segala macam makanan. Daripada anak yang keliatannya habis pulang dengan tentengan sedikit, kami lebih mirip orang yang sedang pulang kampung dan membawa semua hasil bumi yang ada! Kami tidak malu dengan barang yang luar biasa banyaknya tapi yang menjadi masalah adalah ini super-duper berat. Semua barang ini juga tidak masuk di dalam tas sehingga beban semakin bertambah. Untungnya ada kakak-kakak dari Jaladwara yang menyelamatkan kami. Mereka berhasil memasukan pepaya ke dalam tas dan emping ke dalam tas jinjing yang dipinjamkan. Sebelum berangkat kembali ke Kota Joga kami disuguhi sebuah mie yang tidak terbuat dari tepung terigu. Nama makanan ini adalah Mie Pentil. Mienya enak, bentuknya cukup besar dan teksturnya berbeda dengan mie biasa selain itu rasanya pun berbeda. Sekarang saatnya kami pamitan ke Bu Sisil karena akan pulang ke Jakarta, dan bertemu lagi dengan ratusan mobil yang lalu lalang.
Berat hatiku meninggalkan keluarga Mbah Adi dan Palbapang makin kesini ranya aku semakin kerasan. Hampir semua orang yang ketemui ramah-ramah dan asyik untuk diajak ngobrol. Aku juga belum berhasil mewawancarai pemilik Nasi Bakar Organik yang masih pergi. Tapi kami harus pulang karena di rumah ada orang tua yang tampaknya kangen banget dengan kita :D (walaupun hampir semua temanku tidak ada yang kangen dengan orang tuanya, bahkan kalau bisa extend 2 minggu lagi). Sebelum penutupan kami (lebih tepatnya Yla) mengadakan pertunjukan wushu selama 7 hari 7 malam. Kami lakukan pertunjukan ini selain karena ingin beterima kasih tapi juga untuk bahan pertukaran dengan Kak Kukuh. Pasti kalian penasarankan apa yang harus Kak Kukuh lakukan (kalau nggak penasaran nggak apa-apa, nggak harus kok tapi WAJIB). Dia akan bernyanyi “Darah Juang”, lagu yang disebut-sebut terus sejak sampai di Palpabang. Ternyata lagunya...tidak ada yang inget :). Satu-satunya teks yang kami ingat hanyalah “Anak Kurus Kering tidak Sekolah”, karena itu sangat menggambarkan kami :D (Kami? Kaysan aja kali). Kak Kukuh bernyanyi sangat menghayati sampai-sampai suaranya pelan (mungkin sangat terharu, kurang air mata saja :P). Dengan suaranya yang seperti itu lagu ini tidak bisa menggeser lagu kami yaitu “Oleh Perindo, oleh Perindo JAYALAH INDONESIAAAAAA (Fals)” <- #Anak-anakKorbanIklan #JAYALAHPERINDO. Saatnya kami balik ke Jogja. Sebuah petualangan akhirnya selesai juga. Tapi ternyata aku terlalu cepat menyimpulkan Jalan, istirahat, jalan lagi…istirahat lagi sampai akhirnya kami menemukan perempatan Palbapang (yang kata Mbah Google ada penunggunya). Panas siang ini menyengat sekali rasanya lampu jalan yang ada di dekat kami itu sebenarnya matahari yang menyamar menjadi lampu dan akan berubah saat terdesak (gak jelas, terlalu banyak terpapar sinar matahari). “Broom…Broom…Broom,” suara dari arah perempatan setelah itu bisa ditebak... “Dhis itu bisnya!!!” “BANG BERENTI!!!! BANG BERENTI,” kepanikan mendadak melanda. Untungnya kami berhasil menaiki busnya. Sambil di dalam bis kami baru menyadari ada pengawal yang mengawal bus itu saat kami akan naik (clue: mereka adalah Kak Inu dan Kak Kukuh). Ayo pasti nggak tahu kan? silahkan komen siapa mereka. Rasanya bus ini makan waktu yang sangat lama, sebagai buktinya aku tidur sangat nyenyak, tetapi untungnya aku bangun karena kalau tidak aku bisa terbawa bus dan bekerja menjadi kenek. “ASTAGA mana kacamataku? Wah kayaknya ketinggalan di bis tadi deh,” seru Yudhis sesaat setelah turun bis. Kami semua kebingungan karena takut Yudhis jadi tidak bisa melihat apa-apa. Ternyata ia masih bisa melihat orang lain walaupun sangat buram. Kami semua sudah tenang tapi ternyata Yudhis tidak, ia berkali-kali bergumam, “wah nanti gimana nih sampe rumah, pasti dimarahin. Kacamatanya mahal lagi.” Akhirnya sampai juga di Terminal Jombor. Sekarang semua tampak mudah. “Nanti naik 2A lalu pindah ke 3A, terus jalan dikit sampe deh di Malioboro," petunjuk dari petugas juga terdengar mudah. Tapi ternyata semuanya tidak semudah yang aku bayangkan. “Kay kita udah dimana sih? kok dari tadi nggak nyampe-nyampe perasaan kita udah muter-muter dari tadi,” kata Yudhis setelah kami merasa tidak sampai di halte yang dituju. Tidak ada yang tahu bahwa halte Maliobor adalah portable dan hanya berhenti jika salah seorang penumpang memberitahukan ke petugas TransJogja. Kami pun berputar, putar, putar dan putar sampai pusing Hap sudah 2 jam kami berputar-putar terus sebentar lagi 3 jam. “Ini mah sampai negara api menyerang juga nggak bakal nyampe,” pikirku dalam hati setelah menyadari kesalahan kami. Tampaknya tidak ada waktu untuk jalan-jalan ke Malioboro maka kami memutuskan untuk turun di Halte Cik Di Tiro untuk berpindah bis dan sesegera mungkin ke Stasiun Lempuyangan. Ternyata...“Yak Halte SMP 5, silahkan para penumpang turun,” seru petugas sambil terkantuk-kantuk. Halte Cik Di Tiro dan Halte SMP 5 (halte Lempuyangan) itu hanya berjarak 1 halte! (Orang kesandung aja nyampe, jadi kami dengan sedikit kesal karena ternyata sangat dekat berjalan ke stasiun dari Halte Cik Di Tiro. Sebelum pergi kami makan terlebih dahulu di angkringan favorit kita yaitu “Angkringan Samirin” (baca Day 2), tapi makannya dengan porsi jauh lebih banyak karena masih banyak uang yang tersisa. Ternyata walaupun sudah makan sangat banyak harganya menurutku lebih murah (menurut orang Jakarta!), aku yang memesan es jeruk 3 gelas dan nasi goreng 5 bungkus saja, hanya membayar Rp. 18.000. Yang lain bahkan lebih murah lagi. Tak terasa sekarang sudah saatnya kami masuk ke dalam kereta. “Dah…dah, dadah Andro,” setelah itu terdengar suara tangisan “WHUAAAAAA” (lebay) untungnya walaupun Andro tinggal di Jogja tanggal 2 nanti ia akan ke Jakarta untuk berkunjung. “Dekkk jangan itu isinya makanan,” seru bapak yang mempunyai barang saat kami menaruh barang kami diatas kotak tersebut. DI kereta pulang aku tidak tidur karena perjalanannya mulai pada pagi hari dan harusnya sampai pada malam hari tetapi yang terjadi malah kami harus terkena gangguan dan baru sampai pada pagi hari, sekitar pukul 00.30 (itungannya itu sudah pagi lho). “Cekrek…Cekrek. Akhirnya selamat datang di Jakarta,” kami masuk seperti artis. Kamera milik orang tua dimana-mana sudah siap memfoto kami yang mukanya seperti orang kurang tidur :P. Walaupun aku baru selesai perjalanan tapi aku sudah menunggu perjalanan berikutnya!
0 Comments
Leave a Reply. |